Sri Mulyani Bongkar Dampak Tarif Trump, Ancaman Krisis Ekonomi Global?

Rabu, 9 April 2025 oleh aisyiyah

Sri Mulyani Bongkar Dampak Tarif Trump, Ancaman Krisis Ekonomi Global?

Sri Mulyani Angkat Bicara: Kebijakan Tarif Trump Guncang Perekonomian Global

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti dampak signifikan dari kebijakan tarif terbaru yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dalam Sarasehan Ekonomi bersama Presiden Republik Indonesia di Jakarta, Selasa (8/4/2025), Sri Mulyani dengan tegas menyatakan, "Kebijakan tarif AS menciptakan risiko yang luar biasa."

Perubahan Drastis Lanskap Ekonomi Global

Sri Mulyani menjelaskan bagaimana dinamika perekonomian global telah bergeser secara drastis hanya dalam kurun waktu Februari hingga April 2025. Keputusan Presiden Trump pada 1 April untuk mengenakan tarif 10% terhadap Kanada (ditambah 25% untuk energi), 25% terhadap Meksiko, dan 10% terhadap China, dinilai telah mengguncang tatanan kerjasama internasional.

Efek domino pun tak terelakkan. Berbagai negara merespons dengan retaliasi dan ancaman balasan, khususnya untuk komoditas seperti baja dan aluminium. Situasi semakin memanas ketika Trump kembali mengeluarkan Perintah Eksekutif pada 4 Maret, menambahkan tarif 20% untuk produk China, yang kemudian dibalas oleh Kanada.

"Timeline ini menggambarkan bagaimana dalam waktu singkat, dunia yang tadinya berlandaskan aturan, kini kehilangan kepastian," ujar Sri Mulyani. "Kondisi ini menuntut kita untuk lebih cermat dalam mengelola ekonomi, tidak terus-menerus terkejut, namun tetap waspada."

Logika Ekonomi yang Terabaikan

Sri Mulyani juga mengkritisi tarif resiprokal yang diterapkan AS terhadap 60 negara. Menurutnya, metode penghitungan tarif tersebut sulit dipahami, bahkan oleh para ekonom sekalipun.

"Ini sudah tidak lagi mengikuti kaidah ilmu ekonomi. Yang penting, pokoknya tarif duluan," tegas Sri Mulyani. "Tujuannya menutup defisit. Tidak ada landasan ilmu ekonominya di situ."

Ia menambahkan, "Menutup defisit berarti tidak ingin bergantung atau membeli dari negara lain lebih banyak daripada yang kita jual kepada mereka. Itu murni transaksional, tanpa dasar ilmu ekonomi."