Preman Pensiun Heboh! Wacana Penghapusan SKCK Picu Kontroversi, Pro dan Kontra Berdebat Sengit
Selasa, 15 April 2025 oleh aisyiyah
Preman Pensiun: Sebuah Refleksi atas Wacana Penghapusan SKCK
Bulan Ramadhan kemarin, ada satu tontonan yang begitu memikat, yaitu Preman Pensiun. Serial ini cerdas meramu drama, komedi, dan potret nyata kehidupan mantan preman yang berjuang untuk hijrah. Kita diajak menyaksikan perjalanan transformasi mereka yang penuh liku, mulai dari himpitan ekonomi, stigma sosial, hingga sulitnya mencari pekerjaan halal.
Kisah di Preman Pensiun seakan mirroring realitas sosial yang dihadapi mantan narapidana di dunia nyata. Bebas dari hukuman penjara, mereka ingin memulai lembaran baru, namun label "mantan napi" seringkali menjadi batu sandungan. Usulan penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) oleh Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) kepada Kapolri menjadi perbincangan hangat, akankah ini menjadi jalan keluar bagi mereka untuk kembali diterima masyarakat?
Kementerian HAM berargumen, usulan ini bertujuan memberikan peluang bagi seluruh warga negara, termasuk mantan narapidana, untuk mendapatkan pekerjaan layak tanpa dibayangi masa lalu. Tentu, ini kabar gembira bagi mereka yang selama ini kesulitan mendapatkan pekerjaan karena catatan kriminal.
Namun, wacana ini juga menuai pro dan kontra. Banyak yang khawatir penghapusan SKCK akan menyulitkan masyarakat dan perusahaan dalam mengakses rekam jejak calon pekerja, sehingga meningkatkan risiko kejahatan, terutama di lingkungan kerja.
Lebih dari Sekadar Administrasi
Wacana penghapusan SKCK bukan sekadar urusan dokumen administratif, tetapi juga tentang penerimaan sosial terhadap mantan narapidana. Mereka yang telah menjalani hukuman dan ingin bertobat seringkali terhambat, baik oleh sistem maupun stigma yang melekat.
Teori Labelling dari Edwin M. Lemert menjelaskan bagaimana cap atau label yang diberikan masyarakat dapat mendorong seseorang ke perilaku menyimpang. Awalnya, mungkin hanya penyimpangan primer, seperti mencuri. Namun, label "pencuri" yang disematkan masyarakat dapat membentuk identitas dan mendorongnya untuk kembali berbuat jahat.
Preman Pensiun menggambarkan fenomena ini dengan apik. Ada Saep, sang pencopet yang tak kapok meski sudah keluar penjara, bahkan mendirikan "Akademi of Bandung Copet". Di sisi lain, ada Agus dan Yayat yang berusaha jujur dengan berjualan kopi keliling setelah terjerat kasus penadahan motor curian. Atau Kang Gobang yang sabar dan gigih mencari pekerjaan halal, melawan stigma negatif yang membayangi.
Masa lalu yang menghantui, keterbatasan pendidikan dan keterampilan, ditambah stigma negatif, membuat mantan preman sulit mendapat pekerjaan layak. Mereka berada di persimpangan: tetap jujur atau kembali ke jalan lama. Dilema ini juga dihadapi mantan narapidana di dunia nyata. SKCK, yang seharusnya hanya syarat administratif, justru menjadi tembok penghalang.
Padahal, pekerjaan bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga sarana rehabilitasi sosial. Penghapusan SKCK bisa menjadi angin segar, memudahkan mereka mendapat pekerjaan, mengurangi pengangguran, dan potensi kriminalitas berulang.
Namun, pengusaha dan perusahaan juga berhak atas rasa aman. Tanpa SKCK, mereka kehilangan akses informasi penting tentang calon pekerja. Keseimbangan antara memberi kesempatan kedua dan menjaga keamanan menjadi kunci.
Solusi yang Lebih Komprehensif
Reformasi sistem SKCK menjadi solusi yang lebih tepat daripada penghapusan total. SKCK tetap diperlukan untuk kasus berat seperti korupsi, terorisme, atau kejahatan seksual. Catatan kriminal lain bisa dihapus setelah beberapa tahun tanpa pelanggaran baru. Pelatihan keterampilan, bantuan modal, dan insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan mantan narapidana juga perlu dipertimbangkan.
Edukasi masyarakat untuk menerima mantan narapidana juga tak kalah penting. Dukungan sosial menjadi kunci keberhasilan reintegrasi mereka. Perubahan sejati membutuhkan dukungan sistem dan kesempatan kedua. Dengan begitu, kita menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.
Penghapusan SKCK bukanlah jawaban tunggal. Perlu solusi yang adil bagi semua pihak. Mantan narapidana butuh kesempatan, tetapi masyarakat dan perusahaan juga butuh rasa aman.
Oki Kurniawan, mahasiswa Program Studi Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan Sekolah Pascasarjana UGM
Bagaimana pendapat Ibu Susi Pudjiastuti tentang wacana penghapusan SKCK untuk mantan narapidana?
Menurut saya, perlu ada solusi yang bijak. Memberi kesempatan kedua penting, tetapi keamanan masyarakat juga harus dijaga. Mungkin bisa dipertimbangkan penghapusan SKCK untuk kasus ringan setelah masa tertentu tanpa pelanggaran baru, sementara untuk kasus berat tetap dicantumkan. Yang terpenting adalah pendampingan dan pelatihan agar mereka bisa kembali produktif.