Pengalaman Naik Kereta ke Pangandaran, Cerita Perjalanan Seru (Plus Tips Anti Ribet!)
Selasa, 8 April 2025 oleh aisyiyah
Cerita Wisata ke Pangandaran dengan Kereta yang Tak Sempurna
Pantai Pangandaran, sejak dulu hingga kini, selalu menjadi primadona bagi para wisatawan. Jauh sebelum era digital dan kemudahan akses seperti sekarang, gejolak untuk menikmati keindahan pantai selatan Jawa ini sudah terasa, bahkan sejak pembangunan jalur kereta api Banjar-Cijulang yang dimulai pada 18 Juli 1911.
Bayangkan, di tengah proyek pembangunan rel kereta api yang belum sepenuhnya rampung, masyarakat sudah berbondong-bondong menuju Pangandaran. Tak hanya kereta penumpang biasa, mereka bahkan rela berdesak-desakan di gerbong kereta pengangkut pasir, demi menyaksikan pesona laut selatan.
Kisah Perjalanan 'Kuring' dan 'Manéhna'
Salah satu kisah perjalanan unik menuju Pangandaran terekam dalam goresan pena wartawan sekaligus sastrawan Syarif Amin atau Moehammad Koerdie (1907-1991). Dalam karya sastra biografisnya yang berjudul "Manéhna" (terbit pertama 1965, edisi ketiga 2020), Syarif Amin menceritakan petualangan 'kuring' (aku) dan 'manéhna' (si dia) menuju Pangandaran dengan kereta api.
Di sepanjang perjalanan, 'kuring' bernostalgia, menceritakan kenangan masa kecilnya kepada 'manéhna' tentang pengalaman pertamanya mengunjungi Pangandaran. Ia menggunakan kereta api di masa pembangunan jalur kereta yang belum selesai dan layanan yang masih terbatas. Jika direkonstruksi, jalur yang dimaksud kemungkinan baru sampai Kalipucang, mengingat jalur Banjar-Kalipucang selesai pada tahun 1916.
Informasi dari detikJabar (2022) yang merujuk penelitian BRIN, mengungkapkan tahapan pembukaan operasional KA Banjar-Cijulang dilakukan secara bertahap: Banjar-Kalipucang (43,19 km) pada 15 Desember 1916, Kalipucang-Parigi (34,38 km) pada 1 Januari 1921, dan Parigi-Cijulang (4,38 km) pada 1 Juni 1921.
Sayangnya, kini kereta api ke Pangandaran tinggal kenangan. Stasiun Pangandaran terbengkalai, meski namanya tetap lestari sebagai nama kereta api, KA Pangandaran rute Gambir-Banjar.
Lokomotif Kecil vs. Si Gombar
Kereta yang ditumpangi 'kuring' di masa kecilnya adalah rute Banjar-Kalipucang. Perjalanan ini berbayar. Namun, dari Kalipucang, transportasinya digantikan gerobak pasir yang digerakkan lokomotif kecil, dan gratis. 'Kuring' berseloroh, kendaraan ini lebih tepat disebut gerobak pasir, bukan kereta api.
Berbeda dengan lokomotif hitam legam berjuluk 'Si Gombar' (atau 'Si Kongkong' di sekitar Banjar), lokomotif pendorong gerobak pasir ini berukuran lebih kecil. Uniknya, cerobong asapnya justru terlihat besar dan tidak proporsional. "Awakna leutik, ari songsong leuwih gedé ti sééng tambaga anu pangedéna, leuwih jangkung malah!" (hal. 22)
Jembatan Nyaris Roboh dan Jurang Menganga
Dari Kalipucang menuju Pangandaran, perjalanan dilanjutkan dengan gerobak pasir. Tantangannya? Melintasi terowongan dan jembatan-jembatan di atas jurang yang belum sepenuhnya jadi. Bayangkan betapa mendebarkannya!
Jika jembatan terlalu berbahaya untuk dilintasi, penumpang harus turun dan menyeberangi jurang dengan berjalan kaki. Gerobak pasir akan ditinggalkan. Namun, di seberang jurang, sudah tersedia gerobak pasir lain yang siap mengangkut mereka. "Malah aya jambatan nu harita henteu bisa disorang ku karéta téh. Atuh kapaksa saréréa kudu turun, leumpang mapay papan titincakan. Ku lewang-lewangna, sawaréh mah réa nu kajeun turun kana jungkrang, kukurubutan ka nu bala, ti batan mapay jambatan rangkay kénéh mah." (hal. 22)
Sesampainya di seberang, penumpang kembali naik ke gerobak pasir. Ada yang harus dibantu, diangkat, atau ditarik oleh penumpang lain yang sudah berada di atas gerobak.
Bunga Api dan Sanggul yang Terbakar
Gerobak pasir terus melaju, menelusuri pinggiran gunung, bahkan terkadang menembus gunung melalui terowongan. Di sinilah tantangan lain muncul. Baju dan sanggul rambut para penumpang bisa terkena bunga api dari lokomotif uap bercerobong tinggi yang mendorong gerobak dari belakang.
Diduga, karena cerobongnya yang tinggi dan posisi lokomotif di belakang, asap dari tungku tidak terbuang sempurna saat berada di dalam terowongan, sehingga percikan api beterbangan mengenai penumpang. "Reup deui angkeub nepi ka poék mongkléng nyorang torowongan anu panjang. Mulek haseup karéta nu gebas-gebos kawas kuda bebengés, ngabura-burakeun silalatu. Atuh anu tarumpak téh pakupis narepakan seuneu anu eunteup kana baju, kana iket. Nu kana gelung malah! Kaambeu hangit!" (hal. 22)
Pemandangan yang Memukau
Namun, semua kesulitan dan ketidaknyamanan itu terbayar lunas. Setelah melewati terowongan yang gelap gulita, pemandangan laut selatan yang memesona terbentang di depan mata. Birunya air laut berpadu dengan putihnya langit, persis seperti lukisan.
Semakin dekat ke pantai, semakin jelas keindahan karang-karang yang kokoh beradu dengan deburan ombak. Sebuah pertunjukan alam yang abadi.
Sayangnya, perjalanan gerobak pasir berakhir di Putrapinggan, masih cukup jauh dari bibir pantai. Dari sana, perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. "Ti Putrapinggan mah badarat baé nepi ka Pangandaran. Duka sabaraha pal, da capé." (hal. 23)
Tentang Syarif Amin
Syarif Amin atau Moehammad Koerdie (1907-1991) adalah seorang tokoh perintis pers di Indonesia. Karier jurnalistiknya dimulai pada tahun 1929 di surat kabar Sipatahoenan. Pada tahun 1938, ia menjadi pemimpin redaksi. Kiprahnya di dunia pers berlanjut hingga masa pendudukan Jepang, di mana ia menjadi redaktur koran Tjahaya dan mendirikan Soeara Merdeka dan Indonesia, sebelum akhirnya kembali memimpin Sipatahoenan. Setelah 1970-an, Pak Kurdi, sapaan akrabnya, memimpin PT Balé Bandung dan menjadi redaktur majalah Prima.