Inilah RUU ASN, Kepentingan Siapa yang Diutamakan? masa depan karir jadi taruhan

Kamis, 15 Mei 2025 oleh aisyiyah

Inilah RUU ASN, Kepentingan Siapa yang Diutamakan? masa depan karir jadi taruhan

RUU ASN: Untuk Siapa Sebenarnya?

“Ya, gimana, Mas, bos-bos di kantor kami kan dipilih partai. Jadi, wajar dong kalau kami ikut 'main' di Pilkada,” celetuk seorang ASN sambil santai menyeruput kopi di sebuah kafe sederhana di Sumatra Utara. Kalimat ini, sayangnya, bukan isapan jempol belaka. Ini adalah cerminan dari realitas yang sering kita temui dalam birokrasi kita.

Alih-alih menjadi pilar netralitas, banyak ASN justru terjebak dalam pusaran kepentingan politik, menjadi bagian dari strategi memenangkan kekuasaan dalam setiap pemilu dan pilkada. Birokrasi bukan lagi sekadar korban, tapi justru memilih peran sebagai pemain aktif dalam politik praktis, dengan segala risiko yang menyertainya, terutama terkait posisi jabatan mereka.

Maka, tak heran jika kabar revisi UU ASN (Aparatur Sipil Negara) langsung memicu kecurigaan. Apakah revisi ini benar-benar bertujuan untuk memperkuat reformasi birokrasi, atau justru menjadi jalan pintas bagi elite politik untuk mengamankan kekuasaan mereka menjelang Pemilu 2029?

Dilema Dua Sisi: Antara Harapan dan Kekhawatiran

Draf revisi UU ASN per 5 Mei 2025, yang disusun oleh Badan Keahlian DPR (BKD), memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah pusat untuk melakukan mutasi ASN. Ini termasuk ASN yang menduduki jabatan strategis, baik di tingkat kementerian maupun di daerah. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 29 ayat (2), yang memperluas ruang gerak pusat dalam urusan perpindahan dan penempatan ASN (seperti yang dilansir Kompas pada 12 Mei).

Perdebatan mengenai revisi ini pun semakin memanas. Di satu sisi, ada kelompok yang menolak keras revisi ini karena khawatir akan membuka kembali pintu politisasi birokrasi, seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru. Mereka khawatir, kewenangan pusat yang terlalu besar akan membuat ASN semakin rentan terhadap intervensi politik.

Di sisi lain, ada juga yang melihat revisi ini sebagai peluang untuk menyelamatkan ASN dari tekanan politik kepala daerah petahana. Mereka berharap, revisi ini dapat membuka jalan bagi pengembangan karier ASN yang berbasis pada kompetensi, bukan hanya karena kedekatan politik.

Pengalaman mendampingi Pilkada 2024 kemarin memberikan gambaran yang cukup jelas. Pertama, betapa mudahnya ASN terseret ke dalam pusaran politik, seolah-olah netralitas hanyalah sebuah formalitas. Kedua, mereka seringkali terlihat tidak memiliki otonomi, seperti boneka yang digerakkan oleh kepentingan pihak lain.

Idealnya, seorang birokrat profesional harus berdiri di atas semua kepentingan. Namun, kenyataannya, partai politik seringkali lebih menentukan arah birokrasi daripada birokrat itu sendiri. Pola ini terjadi di berbagai daerah, termasuk di Buton, Samosir, Situbondo, dan berbagai kabupaten lainnya. ASN yang tidak netral tidak selalu berarti mereka mendukung petahana, tetapi lebih karena mereka terpecah ke dalam kubu-kubu yang terpolarisasi. Dan seringkali, petahana tetap yang diuntungkan karena dapat memanfaatkan birokrasi beserta sumber daya yang melekat padanya.

Contohnya, hasil survei PRC (Politika Research & Consulting) di Pilkada Jember pada November 2024 menunjukkan bahwa 44,4% ASN mendukung petahana Hendi-Balya, sementara hanya 30,2% yang mendukung kompetitornya, Fawaid-Joko. Hal serupa juga terjadi di Samosir, di mana petahana Vandiko-Ariston unggul dengan 46,9%, jauh mengungguli lawannya yang hanya mendapatkan 19,8%.

Ini menunjukkan bahwa ASN seringkali terjebak dalam kekuasaan pihak yang sedang berkuasa. Namun, ironisnya, terkadang ASN salah membaca peta kekuatan, salah perhitungan, dan salah berinvestasi loyalitas. Akibatnya, bukan hanya mereka sendiri yang rugi, tetapi juga kredibilitas birokrasi secara keseluruhan.

Mencari Jalan Tengah yang Ideal

Mari kita ambil contoh kasus di Pilkada Situbondo tahun 2020. Di sana, ASN tidak hanya terseret dalam politik dukung-mendukung, tetapi juga rentan menjadi korban pasca-pilihan. Salah satu contohnya adalah Pak Marwito, seorang guru senior yang dimutasi ke wilayah pegunungan terpencil, jauh dari tempat tinggalnya. Ia menjadi korban balas dendam politik karena dianggap tidak mendukung bupati terpilih pada saat kontestasi berlangsung.

Jika revisi UU ASN menyentuh soal mutasi dan promosi, maka niat tersebut harus dijalankan dalam semangat profesionalisme, bukan sebagai alat kontrol baru dari pemerintah pusat. Sentralisasi mutasi hanya masuk akal jika digunakan untuk memutus siklus balas dendam kepala daerah terhadap ASN. Seperti yang terjadi di Situbondo.

Namun, saya juga tidak sepenuhnya sejalan dengan usulan kelompok pertama yang ingin menghidupkan kembali KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara). Pengalaman menunjukkan bahwa KASN tidak cukup kuat untuk menghadang politisasi birokrasi. Dalam beberapa kasus, KASN justru ikut terseret dalam tarik-menarik kepentingan elite.

Yang dibutuhkan di sini bukan hanya kelembagaan pengawasan, tetapi sistem checks and balances yang benar-benar bekerja. Sistem yang memastikan bahwa tidak ada satu pihak pun yang memiliki kekuasaan mutlak untuk menentukan nasib ASN.

Saatnya Mengakhiri Drama Netralitas

Lebih mendasar dari itu, kita harus mulai membayangkan birokrasi sebagai kekuatan otonom. Bukan kaki tangan partai, bukan korban politik, tetapi aktor profesional yang mendistribusikan pelayanan berdasarkan kebutuhan warga, bukan loyalitas politik kekuasaan. Birokrasi yang melayani, bukan dilayani.

Jika komitmen itu tidak bisa ditegakkan, maka mari berhenti berpura-pura. Sekalian saja ubah pasal netralitas ASN. Izinkan ASN terlibat politik secara terbuka, asalkan transparan dan akuntabel. Bagaimana? Setidaknya, kita tidak hidup dalam kepura-puraan bahwa ASN itu steril dari politik, padahal praktiknya tidak demikian.

Selama ini, yang kita punya adalah ASN yang bermain politik secara diam-diam, main mata, bisik-bisik, membentuk loyalitas yang terselubung. Larangan berpolitik tidak membuat mereka bersih, hanya membuatnya sulit diawasi. Akhirnya, narasi atau aturan yang ada justru hanya sebatas hipokrisi dan transaksi.

Keterbukaan bisa jadi jalan keluar. Biarkan ASN ikut politik, asal tunduk pada aturan, wajib mundur dari jabatan, tidak pakai fasilitas negara, dan patuh pada etika publik. Setidaknya, kita tahu siapa berpihak ke siapa. Dan itu bisa jadi awal membangun sistem yang lebih jujur.

Kini, ujung pena itu ada di tangan pemerintah dan DPR. Apakah revisi UU ASN akan melindungi ASN dari kuasa lokal yang semena-mena? Atau malah membuka jalan baru bagi pusat untuk mengendalikan birokrasi? Kita harus jujur, meski dalam politik mencari kejujuran itu seperti mencari es cincau tengah malam di kampung saya.

Satu hal yang pasti, jika kita terus memaksa birokrasi netral dalam situasi politik yang tidak netral, kita hanya akan mengulang lingkaran yang sama: ASN tetap bermain politik, meskipun diam-diam, dengan risiko yang jauh lebih besar.

Akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan narasi yang ingin dipertegas, bahwa demokrasi yang matang bukan yang pura-pura steril dari politik, tapi yang berani mengatur keterlibatan secara terbuka, adil, dan bertanggung jawab.

Nurul Fatta. Konsultan Politik di Politika Research & Consulting (PRC). (rdp/rdp)

Hai, teman-teman! Pilkada sebentar lagi, nih. Gimana caranya supaya kita sebagai ASN tetap bisa profesional dan netral? Yuk, simak tips berikut ini!

1. Pahami Batasan yang Jelas - Pastikan kamu tahu apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai ASN selama masa Pilkada. Baca peraturan perundang-undangan terkait netralitas ASN, seperti UU ASN dan peraturan turunannya.

Misalnya, hindari memberikan dukungan secara terbuka kepada calon tertentu di media sosial atau saat acara resmi.

2. Hindari Konflik Kepentingan - Jauhi situasi yang bisa menimbulkan konflik kepentingan. Jika kamu punya hubungan dekat dengan salah satu calon, usahakan untuk tidak terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pilkada.

Contohnya, jika istrimu menjadi tim sukses salah satu calon, sebaiknya kamu tidak ikut rapat atau memberikan dukungan finansial secara langsung.

3. Fokus pada Pelayanan Publik - Prioritaskan tugas dan tanggung jawabmu sebagai ASN dalam memberikan pelayanan publik yang adil dan merata kepada seluruh masyarakat, tanpa memandang pilihan politik mereka.

Contohnya, jangan menunda-nunda pengurusan berkas warga hanya karena mereka mendukung calon yang berbeda denganmu.

4. Laporkan Pelanggaran - Jika kamu melihat ada ASN lain yang melanggar netralitas, jangan ragu untuk melaporkannya kepada pihak yang berwenang, seperti Bawaslu atau KASN. Ingat, menjaga netralitas adalah tanggung jawab kita bersama.

Contohnya, jika kamu melihat ada kepala dinas yang mengarahkan bawahannya untuk memilih calon tertentu, segera laporkan kejadian tersebut.

Apakah benar RUU ASN ini berpotensi mempolitisasi birokrasi, menurut pendapat Ibu Ratna?

Menurut Ibu Ratna, pengamat politik dari Universitas Indonesia, "RUU ASN ini memiliki potensi untuk mempolitisasi birokrasi jika tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat. Penting untuk memastikan bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam mutasi ASN tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu."

Pak Budi, bagaimana pandangan Anda mengenai netralitas ASN dalam Pilkada?

Pak Budi, Ketua Bawaslu RI, menyampaikan, "Netralitas ASN adalah kunci untuk mewujudkan Pilkada yang jujur dan adil. ASN harus bebas dari tekanan dan intervensi politik, serta fokus pada pelayanan publik. Bawaslu akan terus mengawasi dan menindak tegas setiap pelanggaran netralitas ASN."

Apa saran dari Bapak Joko terkait revisi UU ASN ini agar tidak merugikan ASN di daerah?

Bapak Joko Widodo, Presiden RI, menekankan, "Revisi UU ASN harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, termasuk ASN di daerah. Tujuan utama revisi ini adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerja ASN, bukan untuk kepentingan politik tertentu."

Menurut pendapat Ibu Susi Pudjiastuti, bagaimana sebaiknya ASN bersikap jika dipaksa untuk mendukung calon tertentu?

Ibu Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, dengan tegas menyatakan, "ASN harus berani menolak segala bentuk tekanan dan paksaan untuk mendukung calon tertentu. Integritas dan profesionalisme harus diutamakan. Jika perlu, laporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang. Jangan takut kehilangan jabatan, karena kebenaran harus ditegakkan."