Darurat Rupiah! Nilai Tukar Tembus Rp 17.200 per Dolar AS, Apa Penyebabnya?

Selasa, 8 April 2025 oleh aisyiyah

Darurat Rupiah! Nilai Tukar Tembus Rp 17.200 per Dolar AS, Apa Penyebabnya?

Rupiah Terus Melemah, Dolar AS Tembus Rp 17.200 di Pasar Luar Negeri

Bayangan resesi global dan perang dagang kembali menghantui nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpantau melemah tajam di pasar non-deliverable forward (NDF), bahkan menyentuh level Rp 17.200-an per dolar AS. Data Refinitiv menunjukkan, pada Senin (7/4/2025) pukul 10:43 WIB, rupiah terpuruk di level Rp 17.261 per dolar AS, level terendah sepanjang sejarah.

Pelemahan ini sangat signifikan jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan terakhir sebelum libur Lebaran, Kamis (27/3/2025), di mana rupiah masih berada di posisi Rp 16.555 per dolar AS dan bahkan sempat menguat 0,12%. Artinya, rupiah berpotensi mengalami tekanan hebat di pekan ini.

Apa itu Pasar NDF?

Sebagai informasi, pasar NDF merupakan instrumen perdagangan mata uang dengan jangka waktu dan kurs tertentu. Pasar ini belum tersedia di Indonesia, hanya beroperasi di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, dan London. Meskipun demikian, pergerakan kurs di pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pasar spot di Indonesia, sehingga tak jarang pergerakannya diikuti.

Indonesia Terdampak Kebijakan Tarif Trump

Salah satu faktor utama pelemahan rupiah adalah kebijakan tarif yang diterapkan Presiden AS Donald Trump. Kebijakan ini memicu ketidakpastian global dan perang dagang. Indonesia pun menjadi korban, dengan dikenakan tarif resiprokal hingga 32% akibat defisit perdagangan AS terhadap Indonesia. Dampaknya? Ekspor Indonesia ke AS akan terhambat karena harga barang menjadi lebih mahal, membuat konsumen AS cenderung memilih produk lokal. Kondisi ini memperkecil suplai dolar AS ke Indonesia dan memberi tekanan lebih lanjut pada rupiah.

Analisis Para Ahli

Ekonom Senior Bank DBS, Radhika Rao, menilai selera risiko investor melemah setelah AS mengumumkan tarif tinggi terhadap sejumlah negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Sentimen negatif di pasar rupiah dalam negeri, yang sudah ada sebelumnya akibat faktor domestik, semakin diperparah oleh kebijakan ini, mengakibatkan pelemahan mata uang dan obligasi.

Senada dengan Radhika, Chief FX Strategist Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), Hirofumi Suzuki, kepada CNBC Indonesia Research, menyatakan bahwa depresiasi rupiah dipicu oleh tarif balasan dari pemerintahan Trump yang berdampak pada penurunan pasar keuangan. "Kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global semakin meningkat. Hal ini menyebabkan depresiasi rupiah," ujarnya. Namun, Hirofumi juga mengingatkan agar tidak panik. "Ini bukan kesalahan bank sentral Indonesia, melainkan akibat dari kondisi eksternal," tambahnya. Ia menyarankan bank sentral dan otoritas moneter untuk bersikap hati-hati dan memantau situasi dengan cermat.

Pemerintah RI Pilih Jalur Negosiasi

Pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi dan diplomasi untuk menghadapi kebijakan tarif resiprokal ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa langkah ini diambil untuk menjaga hubungan perdagangan bilateral jangka panjang, iklim investasi, dan stabilitas ekonomi nasional. "Indonesia menyiapkan rencana aksi dengan mempertimbangkan beberapa hal, termasuk impor dan investasi dari Amerika Serikat," ujar Airlangga.

Bank Indonesia Terus Memantau

Bank Indonesia (BI) juga terus memantau perkembangan pasar keuangan global dan domestik pasca pengumuman kebijakan tarif tersebut. BI berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui triple intervention (intervensi di pasar valas pada transaksi spot dan DNDF, serta SBN di pasar sekunder) untuk memastikan kecukupan likuiditas valas dan menjaga keyakinan pelaku pasar.