Dilema Obligasi AS, Senjata China yang Malah Bisa Jadi Bom Bunuh Diri dan Ancaman Global

Rabu, 16 April 2025 oleh aisyiyah

Dilema Obligasi AS, Senjata China yang Malah Bisa Jadi Bom Bunuh Diri dan Ancaman Global

Dilema Obligasi AS: Senjata Makan Tuan Bagi China?

China sedang gencar menjual obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS), sebuah langkah yang cukup mengejutkan. Di tengah gejolak pasar, aset berdenominasi dolar AS, termasuk obligasi, biasanya justru jadi primadona. Namun, data Refinitiv menunjukkan lonjakan tajam imbal hasil US Treasury 10 tahun antara 7-11 April 2025, dari 3,99% menjadi 4,49%. Apa yang sebenarnya terjadi?

CNBC International melaporkan, kenaikan imbal hasil ini memperumit strategi perdagangan Gedung Putih. Keputusan mantan Presiden Trump untuk menaikkan tarif impor dari China hingga 145% berbuntut panjang. China membalas dengan menaikkan tarif barang AS, menciptakan eskalasi perang dagang. Kenaikan imbal hasil obligasi AS, yang biasanya dianggap aset aman, justru menambah tekanan dan kekhawatiran akan stabilitas keuangan.

Laith Khalaf, Kepala Analisis Investasi di AJ Bell, kepada BBC menjelaskan, "Kenaikan imbal hasil berarti biaya pinjaman yang lebih tinggi, baik bagi perusahaan maupun pemerintah." Hal ini terjadi karena erosi persepsi obligasi sebagai aset aman, ditambah kekhawatiran inflasi dan defisit anggaran AS akibat perang dagang.

Spekulasi Peran China dan Dampaknya

Spekulasi merebak bahwa China, pemegang sekitar US$759 miliar obligasi AS, menjadi salah satu aktor di balik penjualan besar-besaran ini. George Saravelos, analis senior di Deutsche Bank, memperingatkan, "Perang dagang ini tidak akan menghasilkan pemenang. Yang kalah adalah ekonomi global secara keseluruhan."

Data menunjukkan porsi kepemilikan China atas US Treasury memang menurun sejak 2014, dari US$1,3 triliun menjadi di bawah US$800 miliar pada 2024, dan hanya US$760,8 miliar (Rp 12.758,62 triliun) pada Januari 2025.

Bisakah China Terus Menjual Obligasi AS?

Meskipun China mungkin mengurangi pembelian obligasi AS, menjual dalam jumlah besar justru akan merugikan mereka sendiri. Financial Times menyoroti bahwa ketidakpastian justru mendorong investor membeli obligasi AS. Selain itu, The Fed dapat dengan mudah mengintervensi pasar untuk meredam volatilitas.

Ada beberapa skenario jika China mengurangi pembelian obligasi AS. Intinya, dampaknya bagi AS cenderung netral atau positif, sementara China berpotensi merugi. Menjual obligasi bukanlah strategi yang efektif bagi China dalam negosiasi perdagangan.

Volatilitas pasar obligasi bisa membingungkan. Berikut beberapa tips untuk menghadapinya:

1. Diversifikasi Portofolio - Jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang. Sebarkan investasi Anda ke berbagai kelas aset, seperti saham, obligasi, properti, dan emas.

Contoh: Jika Anda memiliki Rp 100 juta, investasikan sebagian di saham, sebagian di obligasi, dan sebagian lagi di instrumen lainnya.

2. Pahami Profil Risiko - Ketahui seberapa besar risiko yang sanggup Anda tanggung. Investasi yang lebih berisiko berpotensi memberikan imbal hasil lebih tinggi, tetapi juga kerugian yang lebih besar.

Jika Anda menghindari risiko, pilih investasi yang lebih stabil seperti obligasi pemerintah atau deposito.

3. Pantau Berita dan Analisis Pasar - Ikuti perkembangan pasar dan berita ekonomi terkini. Hal ini membantu Anda membuat keputusan investasi yang lebih bijak.

Baca berita ekonomi dari sumber terpercaya dan ikuti analisis pasar dari para ahli.

4. Konsultasikan dengan Penasihat Keuangan - Jika Anda merasa bingung, jangan ragu berkonsultasi dengan penasihat keuangan profesional. Mereka dapat membantu Anda merencanakan strategi investasi yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan Anda.

Cari penasihat keuangan yang terdaftar dan memiliki reputasi baik.

Apa dampak penjualan obligasi AS oleh China terhadap Indonesia, Bu Sri Mulyani?

(Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI): Penjualan obligasi AS oleh China dapat mempengaruhi pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Fluktuasi nilai tukar rupiah dan arus modal asing perlu diwaspadai. Pemerintah akan terus memantau perkembangan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Bagaimana investor ritel seperti saya, Pak Perry Warjiyo, bisa melindungi portofolio di tengah volatilitas ini?

(Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia): Diversifikasi portofolio sangat penting. Jangan berinvestasi hanya pada satu jenis aset. Pahami profil risiko Anda dan pilih instrumen investasi yang sesuai. Konsultasikan dengan penasihat keuangan jika diperlukan.

Apakah perang dagang AS-China akan berdampak pada ekspor Indonesia, Pak Airlangga Hartarto?

(Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian): Perang dagang AS-China dapat menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi ekspor Indonesia. Kita perlu meningkatkan daya saing produk dan mencari pasar alternatif. Pemerintah terus berupaya memfasilitasi ekspor dan mendorong investasi.

Apa saran Bapak Destry Damayanti untuk generasi muda yang baru mulai berinvestasi, mengingat situasi pasar yang fluktuatif ini?

(Destry Damayanti, Ekonom Senior): Mulailah dengan mempelajari dasar-dasar investasi. Pahami instrumen investasi yang tersedia dan pilih yang sesuai dengan profil risiko dan tujuan keuangan Anda. Jangan terburu-buru dan jangan mudah tergiur iming-iming keuntungan yang tidak realistis. Konsistensi dan disiplin kunci keberhasilan investasi jangka panjang.